Saat ini sangat jarang generasi muda kita mengenal tokoh
bernama Ki Ageng Enis ini. Bahkan masyarakat di mana beliau pernah hidup
,banyak yang tidak paham di mana letak makam beliau. Jika diberikan petunjuk
makam yang terletak di Masjid Laweyan ( Ada
yang menyebut Langgar Merdeka ? ) Masjid tertua di Kota Solo, orang masih
mengernyitkan dahi karena Masjid tertua itupun tidak dikenal oleh sebagian
masyarakat Solo. Padahal sejarah Kerajaan Mataram Islam yang menjadi cikal
“Tree Kingdom” yaitu Kasunan, Mangkunegaran, dan Ngayogyakarto Hadiningrat
bermula dari Ki Ageng Enis.
Ki Ageng Enis adalah keturunan langsung atau putra bungsu
dari Ki Ageng Selo. Ki Ageng Selo sendiri terkenal dengan legenda menangkap
petirnya yang masih sering kita dengar di cerita rakyat. Ki Ageng Enis dikenal
sebagai ulama pada jamannya. Beliau mengabdi kepada Sultan Pajang Hadiwijoyo
(Joko Tingkir) dan diberikan tanah perdikan di Laweyan yang kemudian menjadi
cikal Masjid Laweyan.
Masjid Laweyan sendiri konon dahulu merupakan sebuah Pura
Agama Hindu milik Ki Ageng Beluk. Laweyan pada era Kerajaan Pajang masih dihuni
oleh mayoritas warga beragama Hindu. Setelah sekian waktu Ki Ageng Enis tinggal di Laweyan, Ki Ageng
Beluk tertarik masuk Islam dan menyerahkan Pura-nya untuk dijadikan masjid.
Jadilah wilayah Masjid Laweyan ini menjadi pusat penyebaran Agama Islam pada
waktu itu.
Panembahan Senopati Raja Mataram Islam pertama, ketika kecil
hidup di Laweyan yaitu di Kampung Lor Pasar sehingga beliau sering disebut
dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Lalu apakah Panembahan Senopati dan Ki Ageng
Enis hidup dalam jaman yang sama? Jawabannya adalah benar, karena Panembahan
Senopati adalah Putra dari Ki Ageng Pemanahan
dan cucu dari Ki Ageng Enis. Konon kesaktian dan ilmu agama Panembahan
Senopati atau Danang Sutowijoyo adalah hasil dari didikan Ki Ageng Enis yang
karena kesaktiannya mendapat julukan Ki Ageng Luwih. Luwih dalam hal ini
bermakna linuwih atau sangat sakti. Ki Ageng Enis sangat dihormati oleh
masyarakatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga dikenal sebagai
ulama yang alim. Masa hidupnya dihabiskan di masjid untuk beribadah.
Ketika terjadi pemberontakan Raden Mas Garendi terhadap
Pakubuwono II, Masjid Laweyan menjadi tempat pelarian Pakubuwono II dan
sekaligus menjadi tempat tirakat beliau memohon kepada Allah SWT untuk dapat
merebut Kartosuro kembali. Ketika pemberontakan bisa dipadamkan, Pakubuwono II
membuat gerbang khusus untuk dilalui beliau jika akan berziarah ke Makam Ki
Ageng Enis. Namun gerbang ini hanya dipakai satu kali karena satu tahun setelah
pembuatannya Pakubuwono II meninggal. Jenazahnya dimakamkan di komplek makam Ki
Ageng Enis maka komplek makam ini sering disebut dengan Astana Laweyan.
Beberapa waktu kemudian makam Pakubuwono II dipindahkan di Pajimatan Makam Raja
Mataram Imogiri.
Jika berziarah di Laweyan , lokasinya dekat dengan Kampung Batik Laweyan
dan Museum
Samanhudi. Makam terletak disebelah Masjid Laweyan. Untuk masuk ke dalam
sebaiknya lewat juru kunci makam karena
komplek mempunyai tiga gerbang dimana gerbang ke-dua biasanya terkunci.
Komplek makam Astana Laweyan ini merupkan komplek makam tua yang sudah berumur
500 tahun lebih. Di sekitar makam terdapat pohon-pohon yang disebut pohon
nagasari yang bermakna sebagai pelindung makam (dijaga oleh para naga). Makam
yang bersebelahan langsung dengan makam Ki Ageng Enis adalah Nyi Ageng
Pandanaran dan Nyi Ageng Pati.Ki Ageng Enis diperkirakan berdakwah pada sekitar
Tahun 1550 M sampai dengan Tahun 1600-an masehi. Beliau masih keturunan dari
Brawijaya V Raja Majapahit terakhir. Dalam cerita rakyat setempat konon
kerangka dan mahkota Brawijaya V ikut dikuburkan dalam satu liang di Makam Ki
Ageng Enis.Wallahualam.(jatiningjati.com)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus