Selasa, 17 Maret 2009

Mr Moh Daliyono, Pejuang Demokrasi Indonesia Yang Terlupa

Ketika berdirinya Masyumi pada tanggal 24 Oktober 1943 , Mr Moh Daliyono tergerak untuk bergabung berjuang menuju Indonesia yang merdeka. Masyumi pada jaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diijinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi saat itu. Kedekatan Mr Moh Daliyono dengan KH Hasyim Asy'arie bermula dari sini.

Mr Moh Daliyono Bin Hardjosudiro lahir pada Tanggal 9 September 1909. Pada Tanggal 21 maret 1936 beliau menikah dengan Suyati binti Mangunsudomo Prodjodiwirjo keturunan ke 13 dari Sampeyan Dalem Sultan Hanyokrowati Sedo Krapyak di Klaten Jawa Tengah. Kiprahnya di bidang politik dimulai dari terjunnya beliau di bidang hukum dengan memperoleh gelar mister di bidang hukum dimana pada era penjajah gelar itu sangat sulit didapat. Di Solo baru terdapat dua orang yang mendapat gelar mister pada waktu itu yaitu Mr Moh Daliyono dan Mr.Wiji. Dengan kepiawaiannya di bidang hukum itu , beliau berprofesi sebagai advokat procureur

Ketika Indonesia sudah merdeka Tanggal 17 Agustus 1945 ,Mr Moh Daliyono bersama banyak rekan yang mempresentasikan wakil dari Masyumi seperti Moh Natsir menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (BPKNIP) pada 30 Oktober 1945. BPKNIP sendiri adalah pelaksana pekerjaan sehari –hari Komite Nasional Pusat yang semula merupakan pembantu Presiden dalam lingkup kegiatan eksekutif .

Perubahan tugas ini berdasarkan maklumat Wakil Presiden Nomor X (eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang menetapkan bahwa sebelum terbentuknya MPR dan DPR, Komite Nasional Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan pekerjaan sehari-hari Komite Nasional Pusat dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja KNIP karena gentingnya keadaan. Melalui perubahan fungsi ini, maka Komite Nasional Pusat tidak lagi berkedudukan sebagai pembantu Presiden tetapi melaksanakan fungsi legislatif yang keanggotaannya dipilih di kalangan anggota, dan bertanggungjawab kepada KNIP. Badan Pekerja KNIP (BPKNIP) ini diketuai oleh Sutan Sjahrir. Dengan syarat anggota BPKNIP diambil dari kalangan anggota Komite Nasional Pusat maka secara otomatis Mr Moh Daliyono juga merupakan salah satu pembantu dan penasehat dari Presiden Sukarno pada waktu itu.

Kedekatan Mr Moh Dalijono dengan KH Hasyim Asy'arie dapat dilihat dari terpilihnya Mr Moh Dalijono sebagai anggota BPKNIP sebagai wakil dari Masyumi. Melihat kultur politik pada waktu itu dimana peran Ulama sangat dominan dalam perjuangan Indonesia Merdeka , tidaklah mungkin seorang bisa maju ke depan tanpa restu dan ijin Ulama Besar seperti KH Hasyim Asy'arie (KH Hasyim Asy'arie adalah pendiri NU dan sekaligus pendiri Masyumi). Merupakan kehilangan besar ketika beliau KH Hasyim Asy'arie meninggal pada tahun 1946.

Majalah Suara Partai Masjumi

Mr Moh dalijono pada sekitar Tahun 1951 aktif menulis di Majalah Suara Partai Masjumi yang diterbitkan oleh Sekretariat Pimpinan Partai Masjumi departemen Penerangan di Jakarta bersama.Sjarif Usman sebagai Pemimpin Umum, Tamar Djaja dan Anwar Rasjid sebagai redaksi, serta sejumlah penulis lain seperti Moh. Natsir, Dr. Sukiman, Mr. Jusuf Wibisono , Mr. Sjaruddin Prawiranegara , Dr. Abu Hanifah , M. Isa Anshary , Z.A. Ahmad , M. Yunan Nasution , Nj. Sunarjo dan S. Fathimah Usulu.

Majalah resmi Partai Masjumi ini terbit sebulan sekali. Rubrik-rubriknya, antara lain, Pokok Perhatian; Ilmu Pengetahuan; Halaman Bergambar; dan Soal-Djawab. Selain itu, banyak tulisan-tulisan lepas tentang berbagai soal. Baik yang berkaitan dengan Masjumi atau yang bersifat umum.
Majalah yang tampak adalah edisi Np. 6/Tahun VI/Djuni 1951. Cover Depan: Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Harga: Rp. f.2.-
(koleksikemalaatmojo.blogspot.com/2009/01/majalah-lama-suara-partai-masjumi-tahun.html)

Perhatian Mr. Moh Dalijono Terhadap Rakyat Aceh

Setelah khidmat Mr Moh Daliyono di BPKNIP selesai, Negara Indonesia yang masih muda itu mulai terjadi pergolakan politik yang mengarah ke perpecahan bangsa. Peristiwa Cot-Jeumpa (Pembrontakan Daud Beureueh), yang oleh harian Peristiwa yang terbit di Kutaraja disebut “banjir darah yang membasahi bumi Tanah Rencong” karena 64 orang penduduk yang tidak berdosa telah menjadi korban tindakan alat Negara yang tidak bertanggung jawab.

Anggota-anggota oposisi (Mr.Kasman Singodimedjo, Mr. Moh Daliyono, Amelz, dan M. Nur El Ibrahimy) tidak dapat menyetujui kebijaksanaan politik pemerintah mengenai Peristiwa Daud Beureueh.

Mr Moh Daliyono dan rekan-rekan dari pihak oposisi sejak awal telah memperingatkan pemerintah bahwa tindakan kekerasan semata-mata apalagi jika disertai dengan caci maki dan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan terhadap Teungku Muhammad Daud Beureueh dan kawan-kawan tidak akan segera dapat menyelesaikan persoalan, malahan sebaliknya mungkin akan memperuncing suasana dan mengakibatkan penyelesaian terjadi berlarut-larut. Akan tetapi, dengan lantang Pemeritah menyatakan bahwa keamanan akan dapat dipulihkan pada akhir tahun 1953. Ternyata dugaan Pemerintah meleset sama sekali. Hal itu diakui oleh Komisi Parlemen ke Aceh yang diketuai oleh Sutardjo Kartohadikusumo dan oleh beberapa orang wartawan yang pernah meninjau Aceh di antaranya Hasan dari abadi dan Asa Bafagih dari Pemandangan. Kemudian,setelah Takengon dan Tangse di duduki, Pemerintah merasa optimis bahwa keamanan akan dipulihkan pada bulan Maret 1954. ternyata anggapan pemerintah ini pun meleset. Bahkan,sampai Kabinet Ali jatuh pada tahun 1955, keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. (adji.wordpress.com/2006/03/10/bab-14-penerapan-pancasila-di-aceh-dulu-sd-sekarang)

Sebagai Oposisi

Sepeninggal KH Hasyim Asy'arie, Masyumi mulai mengalami pergesekan politik sehingga NU dan Muhammadiyah keluar dari barisan Masyumi. NU mendirikan partai sendiri pada tahun 1952. Mr Moh Daliyono memilih tetap di Masyumi dan ikut membawa Masyumi memenangkan Pemilu Tahun 1955 hingga beliau bisa duduk sebagai anggota DPR Republik Indonesia. Pada era ini pergesekan politik dengan Ir Sukarno terus terjadi.

Mr Moh Daliyono dengan rekan-rekan anggota DPR RI dari Masyumi meneruskan memposisikan diri sebagai oposisi dan menentang keras kebijakan Demokrasi Terpimpin yang digariskan Presiden Sukarno. Masyumi juga menolak komunisme. Selain itu juga karena komunisme itu sendiri anti-demokrasi, karena komunisme hendak menghapuskan pluralisme dan membentuk suatu masyarakat yang monolitik.

Karena penolakan Masyumi terhadap Demokrasi Terpimpin, dan keterlibatan beberapa pimpinan Masyumi dalam PRRI, Soekarno memiliki alasan untuk membubarkan Masyumi. Rencana pembubaran Masyumi oleh Soekarno ini ditanggapi oleh tokoh-tokoh Masyumi dengan mengatakan bahwa dibawah Demokrasi Terpimpin, Masyumi akan menjadi ”mayat berjalan”. Secara fisik Masyumi masih hidup, tetapi secara ruh sebenarnya telah mati. Tanpa demokrasi, Masyumi telah kehilangan raison d’etre untuk terus hidup. Karena itu Masyumi lebih baik bubar daripada turut menjadi ”mayat hidup” di alam demokrasi terpimpin. Pada Tahun 1960, Masyumi dibubarkan oleh Presiden Ir.Sukarno.(http://mhermawan.blogspot.com/2006/02/kiprah-dan-jejak-politik masyumi.html ).

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia

Setelah pensiun dari DPR RI Tahun 1959, Mr Moh Daliyono kembali kepada jati diri asal sebagai seorang advokat. Selain itu beliau juga membuka usaha ekspor impor kopra. Namun dikarenakan sikap beliau yang oposan terhadap Pemerintahan Orde Lama dan tidak kompromi dengan kaum komunis mengakibatkan banyak usaha bisnis beliau terkendala.

Tidak hanya itu, teror terhadap beliau maupun terhadap keluarga berdatangan apalagi menjelang meletusnya G 30 S PKI. Bahkan salah satu putra beliau yang masih duduk dibangku SMP dianiaya dan dilempar ke sungai hingga luka berat oleh partisan Partai Komunis Indonesia. Beruntung putra beliau dapat diselamatkan oleh Barisan Pemuda Muhammadiyah.

Di waktu menjelang malam sering kali keluarga Mr Moh Daliyono diungsikan dari rumah beliau di Mangkubumen Kulon Kota Solo. Sedangkan Mr Moh Daliyono sendiri sering menyamar dan menggunakan sepeda onthel berkeliling Kota Solo untuk memantau keadaan.

Puncak dari teror tejadi ketika G 30 S PKI meletus tahun 1965. Rumah kediaman Mr Moh Daliyono dikepung oleh partisan PKI dengan tujuan untuk membunuh beliau. Salah satu putra menantu beliau berhasil lolos dan meminta bantuan namun tidak ada pihak yang berwajib yang berani datang. Dalam situasi yang sangat genting tersebut, masyarakat Kota Solo terutama warga di sekitar Mangkubumen mengumandangkan adzan dan bergerak ke arah kediaman Mr Moh Daliyono. Melihat massa dengan jumlah besar bergerak kearah mereka, partisan PKI manjadi ragu dan gentar sehingga mereka bergerak mundur. Bebarapa waktu kemudian Tentara RPKAD memasuki Kota Solo mengadakan penjagaan keamanan dan pembersihan terhadap para perusuh.

Setelah pemberontakan PKI dapat dipadamkan, banyak para petinggi yang berafiliasi kepada PKI baik sipil maupun militer dijebloskan ke dalam penjara. Mr Moh Daliyono ditugaskan oleh negara untuk menjadi pembela dari beberapa tokoh PKI yang disidang pada Mahmilub. Sudisman , salah satu tokoh PKI yang dibela Mr Moh Daliyono, menyetujui untuk dibela beliau walaupun tahu bahwa Mr Moh Daliyono adalah bekas pemimpin Masyumi yang selama ini menjadi lawan politik dari PKI.

Sebuah wujud kecintaan terhadap negara dan keprofesionalan terhadap profesi advocat , tugas itu dilaksanakan dengan sepenuh hati. Orang-orang yang dulu ingin membunuh dan membinasakan beliau sekarang dibela agar dapat mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya. Perbedaan pandangan politik tidak mempengaruhi khidmat beliau untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa melihat latar belakang politiknya. Suatu hal yang patut ditiru pada era demokrasi sekarang ini.

Wafatnya Putra Bangsa

Di medio Tahun 1967 sampai dengan 1970, Mr Moh Daliyono menghabiskan waktu di Kota Solo dan terus berkiprah di bidang hukum dengan aktif di Kantor Advokat Mr. Moh. Dalyono. Pada tanggal 20 juli 1970 beliau meninggal dunia di kediamannya dalam usia 61 Tahun. Kepergian beliau yang begitu mendadak menjadikan rasa kehilangan yang mendalam. Ribuan pelayat mengantarkan kepergian beliau ke peristirahatan terakhir di makam keluarga Juru Martanen Badran Solo. Mr Moh Daliyono yang semasa hidupnya bersahabat erat dengan Moh. Roem ini tidak sedikitpun mundur dalam mempertahankan prinsip keadilan, bahkan beliau berani mengambil resiko yang sedemikian berat dengan menentang arus hanya agar demokrasi tetap tegak di negeri ini. Semoga prinsip dan perjuangan beliau tidaklah sia-sia dan menjadi cambuk semangat bagi generasi berikutnya untuk berbuat lebih baik lagi bagi diri sendiri, keluarga, bangsa , dan negaranya.

Daftar Pustaka
1. PIDATO KETUA DPR RI PADA RAPAT PARIPURNA DPR RI PERINGATAN HUT MPR/DPR RI KE-62 RABU, 29 AGUSTUS 2007
2. http://id.wikipedia.org/
3. http://www.parlemen.net/ind/dpr_sejarah.php
4. http://www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg02941.html
5. http://siapakah.wordpress.com/2008/07/17/natsir-seorang-besar-dengan-banyak-teman/
6. adji.wordpress.com/2006/03/10/bab-14-penerapan-pancasila-di-aceh-dulu-sd-sekarang/ - 66k –
7. koleksikemalaatmojo.blogspot.com/2009/01/majalah-lama-suara-partai-masjumi-tahun.html
8. http://mhermawan.blogspot.com/2006/02/kiprah-dan-jejak-politik-masyumi.html
9. Paparan sejarah dari keturunan Mr Moh Daliyono
10. Sumber-sumber lain

Tanggapan, Kritik, Saran, Maupun Sanggahan dapat dikirimkan ke bimo@jatiningjati.com atau langsung menulis di kolom komentar demi sempurnanya posting Riwayat Hidup Mr Moh Daliyono sehinga tidak terjadi kekeliruan penulisan sejarah. Terima Kasih.

1 komentar:

  1. Rumah Pengasingan H. AMELZ (Abdul Manaf El Zamzami) di Jl. Argopeni - Wonosobo >> http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1068091982021&set=a.1058205094855.2009348.1217725722

    BalasHapus