Rabu, 10 Desember 2008

PENINGKATAN SDM SANTRI DALAM MENGHADAPI ERA DUNIA MATERIALISTIK

Sosok pemuda santri yang merupakan manifesto dari generasi muda Islam yang menjadi tolok ukur keseriusan seseorang dalam mendalami agama Islam. Istilah santri sendiri sebenarnya dapat beragam makna. Orang yang belajar agama kepada guru,ulama, maupun kyai dianggap orang yang sedang nyantri, maka dia juga dapat disebut santri. Namun istilah santri lebih popular melekat kepada personal baik laki-laki maupun perempuan yang mendalami ilmu agama di Pondok Pesantren.

Sebagai seorang yang dianggap menjadi calon ustadz maupun kyai atau setidaknya orang yang tahu agama, santri sedikit banyak mempunyai tempat khusus ditengah masyarakat dan dianggap sebagai orang yang alim. Beban social yang sangat berat sebenarnya. Namun pada perkembangan jaman, kesederhanaan yang merupakan penjabaran dari kealiman seorang santri mendapat cobaan berat.Di jaman yang materialistic ini, kehidupan sedemikian mahal di mana santripun butuh hidup. Keseriusan dalam mendalami ilmu agama terkadang membuat seorang santri zuhud terhadap dunia. Namun tidak semua santri mampu menahan beban social yang dikandungnya,sebagai orang alim yang sederhana.

Ketika santri sudah berhadapan dengan dunia luar, realitas kehidupan menjadi terlihat terang dan sangat menyilaukan bagi para santri yang memang tidak atau jarang kontak dengan dunia luar. Ada tantangan yang nyata bahwa mereka harus bisa hidup mandiri. Di sinilah masalah mulai timbul. Santri yang sibuk dengan “dunianya” sekarang harus mencari jalan untuk dapat hidup, sedangkan kemampuan life skill yang dia punya bisa dibilang banyak yang tidak punya. Akibatnya banyak santri yang shock hingga berjalan tidak tentu arah bahkan banyak pula yang mulai melirik jalan pintas yang sebenarnya sangat betentangan dengan ilmu agama yang dipelajarinya. Kalaupun ada yang mampu bertahan dengan berusaha mencari rizqi yang halal dan berhasil mendapatkannya, ruh santri yang merupakan darma santri yaitu dakwah menjadi keteteran dan sedikit-demi sedikit masuk kedunia dakwah materialistic

Mengapa bisa terjadi demikian? Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah niat awal seseorang menjadi untuk menjadi Santri dalam suatu pondok pesantren. Niat ini yang akan membawa seorang santri berhasil atau tidak melalui jalan darma santrinya. Kalau orang yang masuk ke Pondok Pesantren niat benar-benar untuk mendalami agama maka dia niscaya akan siap lahir batin dalam menghadapi rintangan yang akan menghadang dalam rangka melaksanakan darma santrinya. Dia akan benar-benar menjunjung nilai kepasrahan kepada Allah mau jadi apa dia nanti yang penting dia dapat terus berdakwah dan hidup dijalan agama. Namun jika seseorang masuk ke Pondok Pesantren dengan niat yang tidak bulat seperti daripada tidak ada kerjaan, ikut-ikutan, malas sekolah formal, dan niatan-niatan lain selain mencari dan mendalami ilmu agama, maka kebanyakan hasilnya adalah orang yang kebingungan karena nilai kepasrahan yang rendah dan terbentur oleh realitas materialistic duniawi.

Sangatlah disayangkan jika santri yang nota benenya adalah penerus ajaran agama yang diharapkan mampu membawa masyarakat awam menuju ke kehidupan spiritual agama malah kebingungan dalam menyikapi arah hidupnya sendiri. Perlu perhatian serius dari semua kalangan baik Ulama, Kyai, Pondok Pesantren, Pemerintah, dan semua lembaga ke-Islaman untuk dapat segera memperbaiki arah berjalannya santri kita dengan memberikan formula-formula khusus yang sekiranya mampu membuat santri bangga dengan jati dirinya dan benar-benar mampu mengemban darma santrinya tanpa harus meninggalkan fitrahnya sebagai manusia biasa yang butuh makan dan kehidupan yang layak.

Program-program dari pemerintah seperti bantuan block grant dan semisalnya dengan pokok tujuan kearah kemandirian (life skill) yang ditujukan kepada kalangan santri baik lewat lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun pondok pesantren seyogyanya semakin ditingkatkan. Komunikasi sosialisasi program yang baik tentunya akan meminimalkan benturan dengan kalangan agamis salafiyah dan penganut sufisme. Kunci dari gerakan ini adalah keseriusan baik pada fase perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi dan tindak lanjut. Menangani setiap orang pasti akan terdapat perbedaan cara dan pendekatan, demikian juga kaum santri. Tidak bisa sebuah program dibuat lewat top down, semestinyalah semua program untuk peningkatan kesejahteraan santri ini dibuat berdasarkan masukan-masukan dari pihak-pihak yang bersinggungan langsung dengan santri dan juga melibatkan kelompok santri itu sendiri.

Program untuk santri ini seyogyanya bukan bantuan berupa modal saja namun lebih kepada peningkatan skill dari para santri. Santri diberikan pengetahuan tentang skill yang bisa dipergunakan untuk hidup mandiri seperti pertukangan, pertanian, peternakan, perdagangan, bengkel, dan apapun bentuk life skill yang sekiranya sesuai dengan keinginan kelompok santri yang akan dibina. Hal ini dapat dilaksanakan lewat Pondok Pesantren maupun lembaga yang terkait dengan keagamaan.

Dengan adanya penambahan mata pelajaran life skill di Ponpes-ponpes maka tentunya diharapkan santri-santri kita bisa mendapatkan wacana baru dan pengalaman untuk menjadi bekal dalam menghadapi dunia luar nanti. Pemberian materi life skill ini tidak hanya hal-hal yang menuju ke arah pemenuhan kebutuhan material saja namun juga untuk menambah pengetahuan dan daya nalar para santri kita hingga dalam berdakwah dapat masuk ke semua golongan dan strata. Dengan wawasan luas yang dimiliki oleh para santri maka diharapkan ke-eksklusifan dan gerakan ekstrim kanan dapat di eliminir.

Jadi pemberdayaan santri bukan saja dalam bidang life skill namun seyogyanya juga penambahan pengetahuan non life skill maupun non agama seperti pengetahuan tentang ilmu ekonomi, politik, sosiologi. psikologi, kesehatan atau pengobatan dan lain sebagainya, dengan asumsi bahwa santri nantinya bisa masuk ke medan mana saja dengan membawa sifat tawaduk dan kesederhanaannya sebagai manifesto kesantriannya. Sebagai contoh apabila santri berpolitik maka bukan “santri yang berpolitik” tapi “berpolitik dengan jiwa santri”

Degan sedikit pemikiran diatas, dipandang perlu bahwa seorang santri juga diharapkan membekali diri dengan ilmu-ilmu non agama yang tentunya bermanfaat dan tidak bertentangan dengan tuntunan agama. Medan dakwah tentunya tidak hanya di masjid, suro, mushola,atau ponpes. Menjadi pendakwah tidak harus selalu menjadi kyai atau ulama. Namun jadi apapun seorang santri, maka dia akan berdakwah dengan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab pekerjaannya dan menjadi penyinar kehidupan orang-orang disekelilingnya.

Untuk dapat bekerja dan berdakwah dengan baik seorang santri harus dapat menguasai job description yang dibebankan kepadanya. Jika seorang santri dipercaya untuk memegang kas pembukuan maka dia harus paham hukum-hukum dasar pembukuan atau akutansi. Namun dengan darma santrinya yaitu salah satunya adalah dakwah maka dia harus jujur dan menghilangkan segala hal manipulasi pembukuan. Itulah dakwah, “ seorang akuntan yang berjiwa santri”.

Lalu bagaimana cara para santri ini mendapatkankan ilmu-ilmu dunia itu? Apabila sekolah formal dianggap bukan solusi mutlak maka perpustakaanlah yang menjadi alternatifnya. Para santri mulai didekatkan dengan buku hingga menjadi sosok yang haus akan ilmu pengetahuan. Menghidupkan perpustakaan pesantren menurut kami merupakan sebuah wacana yang indah dimana dahulu para cendekiawan muslim seperti Imam Ghozali, Ibnu Sina, dan lain sebagainya telah mencontohkan pada kita bahwa dengan membaca maka kita akan banyak mendapat pengetahuan dan manfaat. Seandainyapun mendirikan perpustakaan pesantren memerlukan biaya besar, para santri masih dapat mempergunakan perpustakaan-perpustakaan umum yang telah ada.

Pada hakekatnya para santri kita memerlukan perhatian lebih agar bisa balance antara dunia dan ukhrowinya. Kesiapan seorang santri dalam menghadapi dunia luar sebenarnya terletak pada niat awal mengapa mereka masuk dalam lingkungan pesantren. Jika mereka memang sudah berkeinginan menjadi seorang sufi maka kehidupan dunia bukanlah menjadi hal penting. Namun jika tidak, maka mau tidak mau seorang santri harus belajar dan berkemauan keras untuk membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat yang sekiranya dapat menjadi bidang keahlian selain pengetahuan tentang keagamaan.

Oleh karena itu pemberdayaan pondok pesantren dengan kondisi tertentu perlu direvitalisasi dengan sedikit sentuhan dari pemerintah maupun lembaga terkait dengan memberikan wacana menuju kemajuan, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan, dan bantuan permodalan yang layak dan seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar