Rabu, 10 Desember 2008

MUNGKIN,HANYA KEPERCAYAAN YANG MEREKA BUTUHKAN

Ketika penulis menimba pengalaman di kota besar yaitu di Semarang pada medio tahun 1999, kenakalan remaja, narkoba, dan seks bebas sudah sedemikian boming, hingga pembicaraan tentang pesta miras, seks,dan tawuran sudah menjadi perbincangan ringan dan kebanggaan pada beberapa kalangan tertentu. Secara kebetulan penulis berjumpa dan akrab dengan para pemuda yang konon merupakan preman di daerah Jl.Pandanaran dan Simpang Lima yang terkenal dengan deretan teh poci. Kawasan ini merupakan daerah prostitusi (terkenal dengan istilah ciblek), transaksi pil koplo, dan berkumpulnya “pasukan preman” dari beberapa daerah di Semarang. Mereka memang diakui mempunyai rasa solidaritas dan setia kawan yang sangat tinggi hingga ada jargon akan terasa terhormat jika mereka mati karena membela teman. Penulis menjadi sadar bahwa solidaritas dan fanatisme kelompok yang seperti ini menimbulkan keinginan aktualisasi diri agar mereka “dianggap” loyal dengan teman hingga pengaruh seburuk apapun dalam kelompok itu akan dilaksanakan terutama bagi mereka “anggota” baru.

Setelah akrab dengan mereka, sedikit demi sedikit penulis mempelajari pola kehidupan mereka dan berusaha memahami dunianya. Dan pada suatu saat penulis meminta mereka mengelola teh poci sendiri yang telah penulis siapkan segala perlengkapannya, mereka menerima dengan antusias. Teh poci ini berjalan dengan cukup baik di kawasan Pandanaran walaupun kebanyakan dikunjungi oleh rekan-rekan mereka sendiri. Tetapi sungguh suatu fenomena menarik, setelah mereka diberi kepercayaan mengelola teh poci tersebut, kehidupan mereka berubah drastis, kehidupan malam yang penuh kekerasan menjadi kehidupan malam yang penuh semangat. Mereka mengelola usaha tersebut seperti mengelola usaha mereka sendiri. Jarang sekali mereka mengadakan “ritual” tawuran dan pesta miras dan koplo. Mereka beralasan kalau sampai sering tawur nanti poci mereka akan sering diserang orang dan tidak laris. Setelah dini hari mereka mengemasi poci dan bertandang untuk belajar internet. Kebetulan penulis juga mengelola Warung Internet di Semarang. Jika tidak ada user mereka kami beri kesempatan untuk belajar internet browsing dan chatting. Kadangkala 1 komputer dipakai oleh 5 orang bersama-sama untuk saling belajar. Kehidupan malam mereka hampir tidak pernah lowong untuk melalukan hal baru yang bermanfaat hingga energi negatif disalurkan menjadi suatu yang positif.Tahun 2001 awal penulis kembali ke Wonosobo hingga sepertinya mereka kehilangan tempat berbagi. Menurut kabar terakhir apa yang telah dirintis ternyata mentah kembali karena tidak ada yang besedia melanjutkan apa yang telah diusahakan. Sayang sekali memang.

Dari pengalaman ini bisa kita simpulkan bahwa berkembangnya pengaruh negatif narkoba, seks bebas, dan kenakalan lain, dominan disebabkan oleh pergaulan yang salah. Mereka ingin meng-aktualisasi diri dengan cara yang keluar dari rel. Kenapa mereka memilih kelompok yang notabene hitam ini? Jawabannya sederhana saja, karena mereka tidak diterima di kalangan “putih”.

Kesalahan pergaulan ini sering kali ditimpakan kepada orang tua dan keluarga. Sebenarnya itu tidak sepenuhnya benar. Pembelajaran di sekolah juga harus bertanggung jawab dengan kondisi ini. Di sekolah sering sekali muncul eksklusifisme siswa yang difasilitasi oleh sekolah seperti kelompok karya ilmiah ( biasanya dipilih oleh guru), Pengurus Pramuka, Pengurus Osis dan sebagainya. Akibatnya siswa diluar struktur itu merasa dipinggirkan hingga tumbuh sikap antipati terhadap rekan-rekannya yang aktif dan tentunya berimbas kepada organisasi kesiswaannya. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan bahwa mereka yang aktif di lembaga kesiswaan akan mendapat “penghormatan” lebih tinggi dari para guru. Hal ini akan memunculkan gen-gen ketidak puasan hingga mereka yang sudah tidak mampu menahan keinginan untuk ber-aktualisasi tapi kandas di golongan “putih” akan menyalurkan pada kelompok “hitam” yang dianggap punya power. Jadilah suatu kelompok yang bersolidaritas tinggi seperti yang telah diceritakan di atas. Perlu pengkajian yang lebih dalam dalam waktu lain tentang peran serta sekolah menfasilitasi seluruh siswanya dalam proporsi yang tepat. Penulis hanya berharap bahwa ddalam kita menanggulangi kenakalan remaja lebih berdasarkan karya nyata dari pada terus berteori. Mungkin hanya kepercayaan dan kegiatan yang positif yang mereka butuhkan. Yang jadi masalah sekarang adalah, apakah kita peduli? Salam untukmu sahabat , dimana sekarang kalian ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar