Rabu, 24 Desember 2008

Sirah Nogo Bundet 1

SIRAH NOGO BUNDET
“Menjamas Harta, Menjamas Pusaka”



Waktu bulan suro,jajan pasar, kembang kantil,kembang boreh, menyan, dupa, dan konco-konconya pasti mahal di pasar. Poro kadang yang kejibah sebagai pranatacara upacara adat mestinya kejugrugan rejeki. Baguslah. Setiap orang punya masa punya waktu untuk mendapatkan harta benda yang didapat dari usahanya. Di bidang lain prajurit keraton pastinya juga sibuk dengan penjamasan pusaka-pusaka kadipaten yang tentunya dilaksanakan dengan penuh taklim.

Kabeh sibuk, kabeh rame. Beberapa hanya cukup semedi untuk menambah wawasan rohani, menambah kedewasaan, intropeksi, sembari tetap ngawat-ngawati kondisi kehidupan wadak di alam nyata sana. Sebenarnya hal ikhwal jamasan itu lebih dekat dengan pembersihan dan penyucian. Pusaka nenek moyang yang dijamas dengan maksud agar lebih bersih dan menambah pamornya. Jika bicara penyucian, sak benere tidak hanya pusaka yang dijamas, harta yang kita milikipun seharusnya dijamas. Coba berapa banyak barang kita yang kita dapat dari ngapusi, nyikuti, korupsi, nyolongi. Piye kalau itu semua dijamasi biar bersih. La piye carane njamasi. Ya sama saja, dikumbah resik dengan ubo rampe jangkep. Setelah selesai jangan disimpan lagi, tapi langsung dilarung wae.

Kenapa kok dilarung. Barang-barang yang kita dapat dari tindakan yang “cocomeo” seperti itu sama sekali ora berkah. Diberikan orang ya tidak berkah, dipangan dewe soyo maneh. Pernah di suatu dukuh, seorang yang sekaratul maut berteriak-teriak minta “gembolane” dikeluarkan dari tubuhnya karena menghambat dia untuk mati. Dengan sedaya upaya dipanggil wong-wong pinter untuk membantu. Tapi luar biasa barang yang dikeluarkan dari tubuh orang itu. Selain “gembolan” ikut keluar barang berupa serbuk kayu (karena dia tukang nyolong kayu), batangan besi (karena dia ngorupsi dana pengadaan persenjataan prajurit), batu (karena dia nilep uang pembangunan pendopo dukuh), bahkan muncul pula perhiasan, sendok, piring, bahkan tempayan.

Melihat itu para orang pinter itu bermusyawarah dan memanggil beberapa orang pintar untuk diajak bertukar pikiran (kalau tidak bisa disebut Lokakarya). Jika orang ini mau dikeluarkan semua dari tubuhnya benda yang menghambat dia mati, bisa jadi nanti akan keluar kuda, rumah, dipan, lemari dan sebagainya. Apakah malah tidak mesakke. Semua harta yang didapat dari yang tidak bener menghambat semuanya. Akhirnya semua sepakat barang milik orang itu semuanya dibakar, dan matilah dia.Mulo, ayo semuanya ikut bersemedi dalam usaha menjauhkan diri dari nafsu kebendaan, ojo seneng midak orang lain supaya semuanya bisa selamat dari sambekolo. Jangan dibiasakan ngambil yang bukan haknya. Dupeh pimpinan terus kabeh dana upeti dipakai untuk “tuku ndonya”.Wis ngono masih ditambah leader sindrom sok pinter plus arogan. Liyane bodho kabeh. Wah kalau begitu do ndak usah bicara tentang disiplin, hidup sederhana, jujur…ah “mbelgedes” nek istilah cantrik di Puser Bumi. Ya sudahlah semua kembali kepada diri masing-masing, dan tentunya pengadilan Pangeran lebih dari segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar